Ketakutan Yang Berbahaya Dikala Menulis Buku

Ingin menulis buku, namun takut untuk memulainya. Mungkin beberapa kandidat penulis ingin menulis. Namun sampai sekarang belum tercipta satupun tulisan.


Pernah mengalami peristiwa ini: melihat kertas kosong dan menggenggam pulpen tetapi tangan justru bergetar? Tidak tahu apa yang bisa ditulis dan cenderung takut hasil goresan pena nantinya akan dicela orang? Atau, membuka aplikasi Microsoft Word lalu jari-jemari datang-datang tak bisa mengetikkan apapun padahal sebelumnya ilham bertebaran di dalam anggapan?


Meski pada kenyataannya nama-nama fobia meningkat /bertambah seiring praktis dan kejadian yang dialami orang-orang di belahan dunia, ada beberapa fobia yang unik. Kasusnya jarang, sejarah tidak banyak mencatat insiden, namun masih dirasakan oleh banyak orang. Grafofobia contohnya, yang yaitu panik irasional pada goresan pena.


Dalam pengertiannya, graphophobia (latin grapho = goresan pena) yakni jenis fobia berupa takut berlebihan dan tak irasional pada goresan pena tangan; takut melaksanakan kegiatan menulis buku di kawasan biasa . Beberapa catatan tidak resmi menyebut-nyebut Skotlandia dan beberapa negara di Skandinavia jadi penderita permulaan dari jenis fobia ini, seiring revolusi industri yang meningkatkan kritik terhadap kaum seniman.


Penyebab munculnya tanda-tanda grafofobia disangka besar lengan berkuasa berhubungan dengan peristiwa tidak mengenakkan atau berisifat traumatis di abad lalu. Tulisan tangan pernah dicela orang, atau berakibat fatal sampai sang penulis merasa bersalah, takut dan terancam keselamatannya. Artinya, grafofobia tidak akan muncul begitu saja tanpa karena.


Meski bahasa aslinya merujuk jenis panik ini pada mudah penulisan tangan sebagaimana biasa terjadi pada masa pertengahan, di kurun sekarang grafofobia juga dikaitkan dengan proses buatan tulisan lainnya, katakan saja mengetik dan atau mencetak goresan pena.


Banyak orang kreatif menakuti diri mereka sendiri ketika menghadapi proyek yang cantik, bahkan sebelum mereka menuangkan pena di kertas. Jurgen Wolff mengelompokkan ketakutan-cemas ini ke dalam tujuh klasifikasi dasar:


 


Ketakutan 1: Penolakan


Ketakutan ini merupakan panik besar yang umum terjadi. Jika Anda bergumuldengan ketakutan bahwa tidak ada orang yang hendak menyukai hasil karya Anda, rasa takut itu cukup besar lengan berkuasa untuk menghentikan tindakan Anda. Penolakan memang bisa terjadi. Anda tidak mampu selalu mengasyikkan siapa saja.


Akan tetapi, jikalau Anda terus menjajal menulis buku, Anda akan mendapatkan satu atau barangkali banyak orang menyukai karya anda. Rak-rak toko buku diisi dengan berbagai buku karya para penulis yang pernah menderita balasan penolakan — lihatlah posisi para penulis itu sekarang!


Satu-satunya perbedaan antara pemenang dan pecundang bukanlah jumlah penolakan yang pernah mereka terima. Pemenangnya yakni orang yang tidak pernah menyerah!


 


Ketakutan 2: Ketidakpuasan


Ini ialah rintangan yang sangat besar bagi penulis — panik bahwa goresan pena Anda tidak cukup baik. Saya tidak mampu menjumlah berapa banyak penulis menyeret kaki mereka sebab berpikir, “Saya ini tahu apa? Siapa yang mau membaca apa yang saya tulis?”


Ternyata banyak orang yang hendak membacanya! Beberapa penulis menilai pekerjaan mereka benar-benar sampah (dan mungkin beberapa masih sering berpikir seperti itu). Namun demikian, pasti ada penerbit menilai bahwa karya tersebut nyaris mendekati jenius!


Para kritikus berkata bahwa karya Shakespeare buruk! Akan tetapi, sampai 400 tahun berikutnya, karya-karya Shakespeare masih beredar dan diapresiasi dengan baik. Ini memberikan seberapa banyak pengertian kritikus.


 


Ketakutan 3: Kesuksesan


Yang satu ini memang terdengar seperti oksimoron. Akan tetapi, banyak orang yang memang takut akan kesuksesan. Saya tidak mau berkomentar banyak wacana hal ini! Bagi beberapa orang, asumsi bahwa segalanya akan menjadi terlalu besar untuk dikerjakan cukup melumpuhkan mereka untuk tidak melaksanakan apa-apa.


Cara untuk mengatasi situasi ini yaitu dengan melangkah sedikit demi sedikit. Ketakutan akan keberhasilan barulah Anda hadapi dikala Anda telah meraihnya.


 


Ketakutan 4: Membuka Diri Terlalu Banyak


Ini yakni cemas yang belum pernah Wolff pikirkan sebelumnya. Saat Wolff melihat kembali perjalanannya masa lampau, berulang kali beliau mengajukan pertanyaan-tanya apakah yang dia tulis terlalu menelanjangi dirinya. Dia mencar ilmu banyak hal dari pengalamannya. Karakter-huruf dalam novel “James and I” sungguh bersahabat dengan hati Wolff. Dia bertanya-tanya apakah keluarga dan teman-sahabat yang membaca buku ini mampu melihat melalui huruf-aksara ini dan lalu menyaksikan dia.


Sebagai penulis, kita sering menelanjangi jiwa kita. Dalam hal ini, ada imbas baik sekaligus buruknya bagi Anda. Anda akan bertemu dengan orang-orang yang tidak menyetujui Anda. Di lain pihak, Anda juga bisa membangkitkan hati pembaca Anda.


 


Ketakutan 5: Anda Hanya Memiliki Satu Buku


Akhirnya! Ketakutan yang tidak Wolff rasakan. Dia memunyai setumpuk bahan untuk menulis buku. Paling tidak puluhan novel dalam puluhan seri yang berlainan-beda.


Akan tetapi, banyak penulis yang tidak cukup mujur.


Saat Anda menyadari bahwa Anda ialah penulis, Anda memunyai kisah yang perlu disampaikan. Anda akan selalu memunyai dongeng untuk Anda ceritakan! Beberapa cerita mungkin akan menyantap waktu penyelesaian yang lebih usang dibandingkan dengan dongeng-kisah yang lain, namun mereka sedang menunggu untuk keluar.


 


Ketakutan 6: Anda terlalu Tua


Ah, Anda tidak pernah terlalu tua untuk menulis buku. Semakin bertambahnya umur Anda, semakin banyak pengalaman Anda. Pengalaman memperbesar kedalaman goresan pena Anda. Umur memperbesar unsur kedewasaan pada setiap tulisan. Sebuah novel membutuhkan ketekunan. Pikirkanlah tentang hal ini – kesabaran yaitu sesuatu yang barangkali tidak dimiliki penulis muda.


 


Ketakutan 7: Banyak Penelitian


Detail-rincian sangat penting dalam novel. Anda perlu tahu waktu dari dongeng Anda, rincian-rincian pekerjaan dari aksara Anda, nuansa dari berbagai macam budaya dan lain-lain. Bahkan, detail membuat dongeng Anda dapat diandalkan. Gene Roddenberry, pengarang Star Trek, menciptakan dongeng fiksi sainsnya menurut fakta-fakta sains.


Nikmatilah penelitian tersebut. Pelajarilah aksara-abjad Anda dan dunia yang mereka huni. Jika Anda menulis postingan, blog, atau buku elektronik ihwal non-fiksi, nikmatilah saat-dikala Anda mempelajari sesuatu yang gres. Jangan anggap berguru sebagai pekerjaan; berguru yakni hiburan dan kegemaran bagi banyak penulis.


 


Kaprikornus bagaimana penulis mengatasi tujuh ketakutan yang mematikan ini? Dengan menghadapinya, pastinya!


Memang iya, untuk mengawali segala sesuatu itu butuh proses, butuh mencar ilmu, dan perjuangan. Orang bisa menulis buku, pastinya sebab sudah biasa (mencar ilmu) menulis buku bukan asal sekali jadi dan sudah biasa berakal menuliskan apa saja.


Saya meyakini sekali bahwa tiap-tiap dari kita itu punya kesempatanuntuk mampu mengungkapkan perasaan, ajaran dan uneg-unegnya wacana apa saja melalui goresan pena. Karena bagi saya, menulis buku itu tak beda dengan kebiasaan kita berbicara dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita mau menyadarinya, sebetulnya mengatakan itu ialah acara yang spontanitas bukan. Walaupun (maaf) mungkin dari kita hanya mampu berkomunikasi melalui aba-aba tetapi sebuah arahan pun tetap mampu dikomunikasikan dengan goresan pena atau body language.


Bagaimanapun, mental block bisa dihilangkan dengan latihan anggapan. Berpikir bahwa “jika saya tidak menulis, maka orang lain tidak akan membaca idenya.”


 


[Aditya Kusuma]



Sumber mesti di isi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama