Versi Pengembangan Alinea Dalam Menyusun Buku Didik

Menulis buku ajar membutuhkan kemampuan dalam menyusun alinea demi alinea sehingga terbentuk ihwal yang utuh. Dimana untuk membentuk wacana yang utuh dalam buku didik dibutuhkan gaya penyuguhan yang terkait dengan tata permainan bahasa dan proses pengkategorian berbentukpenyusunan alinea demi alinea.


 


Sebagaimana kita ketahui alinea atu paragraf ialah satu kesatuan pikiran atau ide yang berisikan beberapa kalimat. Setiap paragraf mempunyai satu kalimat topik dan satu kalimat utama serta kalimat penjelas. Sebagaimana dijelaskan oleh Junaiyah (2010, 9), paragraf ialah seperangkat kalimat yang membicarakan satu ide utama (satu topik).


Lebih lanjut, diharapkan pula ketelitian untuk menyusun alinea yang padu sehingga penulis mampu mendeskripsikan urusan secara ekspositoris dan lalu menganalisisnya secara argumentatif. Pengidentifikasian secara formal sebuah paragraf (alinea) begitu mudah, karena secara visual paragraf umumnya ditandai adanya indensasi (Novi Resmini, UPI). Namun, dalam kenyatannya suatu alinea belum tentu dikembangkan secara benar. Oleh karena itu, diharapkan pengertian perihal model pengembangan alinea. Adapun beberapa model pengembangan alinea berdasarkan Wibowo (2016, 124) yakni:


 



  1. Model Spiral


Merinci pokok pikiran ke dalam alinea dan kemudian lebih merincinya ke dalam alinea-alinea berikutnya. Begitu seterusnya, sampai menggambarkan suatu problem yang terperinci-benderang, yang dapat dikembalikan ke judul baba tau secara lazim ke judul buku ajar. Alhasil, seluruh goresan pena menjadi bundar, padu, utuh dan komprehensif. Perhatikan kutipan alinea berikut (kata yang bergaris bawah ialah pokok fikiran):


Agaknya benar bahwa teknologi telah mereduksi insan menjadi budak-budaknya, bahkan di luar pemahaman dan kendali atas diri mereka sendiri, bagaimana dibilang Schumacer (1979). Kita yang tidak dapat beradaptasi dengan keperluan teknologi dapat dengan mudah disepak ke luar genggaman kehidupan. itu sebabnya, seringkali kita tercerabut dari nilai-nilai luhur bangsa kita sendiri. Meledaknya masalah Perbatasan Camar Bulan, Sambas, Kalbar, baru-gres ini adalah misalnya. (sumber: Wahyu Wibowo, “Pungguk Merindukan Bulan di Perbatasan”, harian Jurnal Nasional, 19/10/11; h.10);


 



  1. Model Rekatan


Menghubungkan atau merekatkan alinea satu dan yang lain dengan partikel penghubung atau postingan penegas. Akan tetapi, yang layak ditegaskan, tiap-tiap alinea itu harus tetap terikat oleh suatu pokok fikiran. Hal lain yang juga layak ditegaskan, tidak dimungkinkan partikel penghubung digunakan pada teras (alinea awal pada tiap bab). Dengan demikian, berhubungan dengan tata permainan bahasa buku bimbing, sah-sah saja kalau tiap alinea (selain teras) memakai partikel penghubung, sepeti “(akan) tetapi”, “oleh sebab itu”, “dan”, “selanjutnya”, “bila”, “dengan (kata lain)”, “meski demikian”, atau “tatkala”. Model rekatan ini dapat dipakai jika menganggap alinea terlalu panjang.


 



  1. Model Blok


Menyebarkan atau membagi-bagi pokok fikiran problem ke dalam alinea yang terpisah-pisah. Dampaknya, arah bab buku didik seakan-akan tidak runtut alias melompat-lompat. Akan namun, janganlah khawatir, karena ada kontrol yang bernama teras. Dalam penegasan lain, semua hal yang berkesan melompat-lompat itu bantu-membantu merujuk ke teras, judul bab, atau judul buku latih. Alhasil, fokus tulisan tetap terjaga. Perhatikan kutipan tiga alinea di bawah ini (kata yang bergaris bawah ialah pokok anggapan):


Setiap menyambut Idul fitri, penduduk senantiasa menggunjingkan prestasi pemerintah. Prestasi itu tercermin mulai dari lonjakan harga barang di tengah kenaikan permintaan segala keperluan pokok dan angkutanpublik hingga kesiapan infrastruktur, seperti perbaikan jalan, yang kedodoran. Masalah sama berulang setiap tahun.


Rakyat yang ingin menikmati makan lezat setahun sekali, menyebarkan, beribadah, berlibur, dan bersilaturahim. Padahal masyarakat berubah: masyarakatlebih banyak, lebih padat, lebih sigap dan timpang, kian urban,s erta kian terhubung dengan teknologi. Semakin kompleks.


Karena terjadi setiap tahun, tampak betul tendensinya: lebih baik, tetap, atau lebih buruk. Tendensi itu sendiri refleksi dari hadir atau tidaknya kepemimpinan yang bekerja dengan administrasi dan sistem atau hanya berakrobat di depan kamera dengan sidak dan sensasi. (sumber: Rhenald Kasali, “Lebaran dan Prestasi Pemerintah”, Kompas, 03/08/13; h.6)


 



  1. Model Tematik


Pokok pikiran yang terdapat dalam tiap-tiap alinea menggarisbawahi atau menegaskan pokok asumsi pada teras. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut, kemudian perhatikan kata-kata yang bergaris bawah:


Demokrasi digital menciptakan aneka jurang antara budaya pemilih dan budaya parpol; antara budaya digital dan budaya ruang aktual; antara pengertian politik generasi internet dan pemahamam parpol. Jurang ini membawa institusi politik pada kondisi paradoks: di satu pihak harus melayani spirit instan dan tak bertahan usang budaya digital; di pihak lain membangun identitas politik yang tetap, stabil, dan bertahan usang (sumber: Yasraf Amir Piliang, “Demokrasi Generasi Digital”, Kompas, 24/08/13; h.6).


 



  1. Model Kronologis


Merinci dan berbagi alinea demi alinea menurut hukum alasannya-balasan atau insiden demi kejadian. Perhatikan kutipan alinea berikut:


Selama bulan Juni-Agustus, setidaknya terjadi 16 perkara penembakan di sejumlah kawasan: Cirendeu (Tangerang Selatan), Ogan Komering Ulu (Sumatra Selatan), Ciputat (Tangerang Selatan), dan Yogyakarta. Tak ada lagi penghormatan kepada institusi dan aparatur negara. Penembakan terhadap petugas Rutan Kelas IIA Baturaja, Sumsel, dan anggota Polri memberikan siapa pun mampu jadi target. (…)


Terlepas dari beragam motif, tindakan besar kepala dengan menembaki kemudahan umum, petugas hukum, dan penduduk biasa yakni perilaku yang sungguh tidak dapat dicerna logika sehat. Penggunaan senjata jadi bab dari langkah-langkah arogan ini. Peredaran senjata di Indonesia sebaiknya sangat terbatas. Sejatinya, senjata api merupakan sarana paksa yang digunakan negara untuk melakukan kekuasaan melalui instansi militer dan kepolisian. Penggunaan api pada prinsipnya ialah monopoli negara (sumber: TB Rony Rachman Nitibaskara “Senjata dan Ornamen Kekuasaan”, Kompas, 22/08/13; h.6).


 


Selamat menulis !!


 


Referensi:



 


[Ulin Nafiah]



Sumber harus di isi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama