China kembali menciptakan kabar yang mengagetkan. Dikabarkan China berniat mencampakkan dolar dan lebih menekankan penggunaan mata uangnya yuan dalam banyak sekali macam transaksi.
Perseteruannya dengan Amerika Serikat (AS) mungkin akan menciptakan aksesnya ke dolar AS menjadi terbatas di masa depan. Dan China menyadari betul perihal hal ini.
Seperti yang diketahui, dedolarisasi atau agresi buang dolar juga sudah banyak disarankan oleh pejabat pemerintah dan pengamat pasar yang besar lengan berkuasa dalam beberapa pekan terakhir.
Ditambah, perseteruan kedua ekonomi paling besar di dunia itu kian memuncak semenjak negeri tirai bambu memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional gres di Hong Kong.
Mengutip dari Bloomberg pada hari Senin (13/7/2020) kemarin, Ding Shuang -kepala ekonom Standart Chartered Plc untuk kawasan greater China dan Asia Utara- menyampaikan, “Internasionalisasi Yuan berganti dari yang dikehendaki menjadi hal yang sungguh dibutuhkan bagi Beijing”.
Sementara itu, Fang Xianghai -pejabat tinggi di regulator sekuritas China- juga berkomentar ihwal agresi dedolarisasi ini. Ia menuturkan, “China perlu mencari pengganti dolar di tengah ketidakpastian politik, jikalau tidak bangsa akan menghadapi risiko keuangan”.
Pada pekan lalu, Zhou Yongkun -pejabat di People’s Bank of China- menyampaikan bahwa China akan memperkenalkan jual beli pribadi antara yuan dan mata uang embel-embel. Namun Zhou tidak menyebut mata duit apa yang mau menjadi mata duit tambahan tersebut.
Mengenai kabar ini, bank investasi terkemuka, Goldman Sachs, memberi prediksi kurs yuan China yang hendak menguat tajam dalam jangka waktu 12 bulan ke depan. Prediksi perihal hal tersebut diberikan dari menyaksikan perekonomian negara yang dipimpin Xi Jinping itu yang mulai berdiri.
Analis mata uang emergencing market Goldman Sachs, Zach Pandl, memberi pandangan dalam 12 bulan ke depan, kurs yuan akan menyentuh level 6,7/US$. Untuk berita, yuan menjamah level tersebut pada April setahun yang kemudian.
Pandl menjelaskan, sehabis alami penurunan tajam efek dari pandemi Covid-19, perekonomian China memberikan rebound yang cukup anggun.
Tindakan dedolarisasi ini dikatakan selaku senjata pamungkas China dalam menghadapi AS di bidang ekonomi. Seperti yang dikenali, China ialah negara pemegang obligasi AS (Treasury) terbesar di dunia pada tahun 2019 kemudian.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan AS, pada tamat April 2020, nilai Treasury yang dimiliki China sebesar US$ 1,07 triliun atau sekitar Rp 14.400 triliun (kurs Rp 14.400/US$), atau sekitar 15,8 persen dari total Treasury yang beredar di muka bumi ini. Nilai tersebut juga setara dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Sumber stt.ac.id